Umat Islam tahu sebagian wahyu para nabi turun melalui mimpi. Dalam beberapa hadist juga disebutkan mimpi orang yang beriman adalah seperempat puluh enam cabang kenabian, namun jarang sekali ulama membahas perihal tafsir mimpi. Imam Ibnu Sirin menjadi ulama panutan pada zamannya (generasi tabi'in) dalam mentakwilkan mimpi. Beliau pernah berkata ”Pada dasarnya, pengetahuan ini diambil dari agama kita. Jadi, perhatikan dengan baik dari siapa engkau mempelajarinya!”
Sekilas tentang Imam Ibnu Sirin
“Setiap kali kata kematian disebutkan di hadapan Ibnu Sirin, seluruh tubuhnya bergetar.”
Muhammad Ibnu Sirin al-Bashri dilahirkan di kota Bashrak, Irak, pada 33H (653 M). Imam Ibnu Sirin adalah seorang penulis termashur dan ulama terhormat di masa hidupnya. Ia hidup pada abad pertama kekhalifahan Islam dan belajar fiqh serta hadist dari tangan para pengikut pertama sahabat-sahabat Rasulullah saw. Diantara tokoh-tokoh yang sezaman dengannya adalah Imam Anas bin Malik, al-Hasan bin Ali al-Hasan al-Bashri, Ibnu 'Awan, al-Fudhayl bin 'Iyadh, dan tokoh lainnya.
Muriq Al-’Ujali pernah berkata, “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih bijak dalam kesalihannya atau lebih alim dalam ilmunya daripada Muhammad lbnu Sirin".
Dalam kamus biografinya, Khayruddin az-Zarekli menggambarkan lmam Muhammad lbn Sirln sebagai seorang yang salih, bertakwa kepada Allah, dan seorang Mukmin yang kuat, tuan rumah yang pemurah, dan sahabat yang bisa dipercaya.
Kesalihan dan Kezuhudannya
Al-Hasan ibn Abi al-Hasan al-Bashri pernah berkata, ”Ada suatu masa ketika, jika seseorang mencari ilmu, engkau dapat melihat efek ilmu itu pada setiap sisi kehidupannya, termasuk kesalihannya, tindakannya, ujarannya, pandangan dan penglihatannya". Imam Muhammad lbnu Sirin sering berkata, ”Ketika Allah Yang Mahakuasa hendak membimbing hamba-Nya, Dia akan mengarahkannya kepada seorang bijak untuk memperingatkannya”. la juga sering berkata, ”Jika seseorang ingin beroleh kemenangan di dunia ini dan di akhirat nanti, maka ia harus mencari teman yang memerintahkannya untuk melakukan kebaikan dan mencegahnya melakukan kejahatan".
Imam Ibn Sirin biasa berpuasa selang satu hari selama hidupnya. Pada hari ketika ia tidak berpuasa, biasanya ia makan siang, tidak makan malam, dan makan sedikit waktu sahur, sebelum menunaikan salat subuh.
Ia biasanya bangun malam selama bulan Ramadhan untuk melakukan saIat, dan ia sering berkata, ”Seseorang harus bangun untuk melakukan salat malam, setidaknya lama waktu yang dibutuhkan untuk memerah susu kambing.” Hisyam ibn Hasan pernah menginap di rumah Imam Ibn Sirin dan bercerita pada temannya, ”Aku mendengar ia terisak di waktu malam, padahal ia adalah tuan rumah yang sangat ceria sepanjang siangnya.”
Hafshah binti Sirin, saudara Imam Ibnu Sirin, pernah berkata, ”Ketika Muhammad” dipanggil oleh ibu kami, ia biasanya berdiri di hadapannya dengan sopan dan menahan diri untuk tidak bicara kepadanya dengan suara keras.” Seseorang pernah mengunjungi Imam Ibnu Sirin yang sedang bersama ibunya dan terkesan oleh rasa hormat Imam lbnu Sirin kepada ibunya. Ketika orang itu pergi, ia bertanya, ”Apa Muhammad sedang sakit Seseorang menjawab, ”Ia baik-baik saja. Ia sangat menghormati ibunya sehingga ia hampir luluh ketika berada bersamanya.”
Seseorang menanyakan pendapat Imam Ibnu Sirin tentang tafsir mimpi. Ibn Sirin menjawab, ”Takutlah kepada Allah ketika engkau jaga, dan jangan khawatir tentang apa yang engkau lihat dalam mimpi”. Ketika ia diminta untuk memberi pendapat dari sudut pandang agama ihwal dua tafsir yang mirip, ia memilih yang paling dekat dengan kitab Allah. Ia pernah berkata, ”Pada dasarnya, pengetahuan ini diambil dari agama kita. ladi, perhatikan dengan baik dari siapa engkau mempelajarinya!”. Musa ibnu al-Mughirah pernah berkata, ”Aku melihat Muhammad Ibn Sirin pergi ke pasar di tengah hari. la begitu khusyuk dalam doanya, mengagungkan dan memuji Allah. Seseorang bertanya kepadanya, ’Wahai Abu Bakar (diambil dari nama ayahnya), apakah ini waktu untuk membacakan doa-doa itu?’ Ibnu Sirin menjawab, ’Ketika berada di tengah pasar, orang dapat tertipu oleh gemerlapnya dan menjadi lupa pada kewajibannya.”’
Suatu ketika, panggilan azan terdengar tatkala mereka sedang mengadakan pertemuan. Ketika orang-orang berdiri untuk melaksanakan salat, Imam lbnu Sirin berkata, ”Biarlah orang yang paling fasih membaca Alquran mengimami kita, karena di antara kita ada orang-orang yang sudah menghafalnya”. Setelah selesai salat berjamaah, Ibnu Awn bertanya kepada Imam lbnu Sirin, ”Mengapa engkau menolak menjadi imam salat?” la menjawab, ”Aku tidak ingin orang-orang berkata, ’Ibn Sirin mengimami salat kita malam ini.”’
Imam lbn Sirin sering menolak barang-barang halal sekalipun, karena takut akan penyimpangan. Ia sering diundang ke pesta pernikahan, dan sebelum meninggalkan rumah, ia meminta pada keluarganya, ”Beri aku makanan yang manis-manis”. Mereka menjawab, ”Bukankah engkau akan pergi ke pesta pernikahan dan engkau akan memperolehnya di sana?” la menjawab, ”Aku tidak suka memuaskan rasa laparku dengan makanan orang lain.
Ia juga sering berkata, ”Jangan bebani saudaramu dengan sebuah pembebanan lebih besar dari apa yang dapat ditanggungnya”. Hisyam ibn Hasan pernah berkata, ”Ketika Hind binti aI-Muhallab mengundang Hasan aI-Bashri dan lbnu Sirin untuk makan, Hasan pasti datang, sedangkan lbnu Sirin menolak”.
Pernah Imam lbnu Sirin menolak sebuah hadiah senilai empat puluh ribu dirham karena ragu-ragu tentang kehalalan sumbernya. Ketika mengomentari tindakan ini, Sulayman at-Taymi berkata, ”Ia menolak karena tak seorang ulama pun akan berbeda pendapat tentang ketidaksahannya”. Ketika lbnu Sirin ditanya tentang dua saudara yang kemudian menjadi saling bermusuhan, ia menjawab, ”Kejahatan menyelinap di antara mereka.”
lbnu Zuhayr pernah berkata, ”Setiap kali kata kematian disebutkan di hadapan lbnu Sirin, seluruh tubuhnya bergetar.”
Ketika Imam lbnu Sirin berbaring menjelang kematiannya, ia berkata pada anak laki-lakinya, ”Anakku! Bayarkan utang-utangku. Bayarkan apa yang kupinjam dari orang lain.” Anaknya menjawab, ”Wahai ayahku, apakah aku harus membebaskan seorang budak atas namamu?” lbnu Sirin menjawab, ”Allah Yang Mahakuasa berkuasa memberi aku dan engkau apa-apa yang baik yang engkau lakukan atas namaku.”
Imam lbnu Sirin wafat di kota Bashrah pada 110 H (729 M) di usia tujuh puluh enam tahun.
Post a Comment